Jumat, 23 Mei 2014

bab 9 pelajaran agama krikulum 2013



Bab IX
Meneladani Perjuangan Rasulullah SAW
di Madinah











Membuka Relung Kalbu



 





Text Box: Gambar : tiga orang sahabat sedang asyik bercengkrama diruang tamu 




Narasi : hidup bahagia dengan membiasakan kontrol diri, prasangka baik, dan menjaga persaudaraan










  






Mengkritisi Sekitar Kita


 



Amatilah gambar berikut, lalu tulislah pesan-pesan moral atau komentar kritis yang mengarah kepada “membangun dan menjaga persaudaraan (ukhuwah)” !

Muhammad seorang yang sangat mulia, dalam kedudukan yang demikian tinggi ia tetap rendah hati, wajahnya selalu manis dan bibirnya senantiasa menyungging senyuman, baik terhadap orang yang terhormat maupun kepada yang berkedudukan rendah (Sedillot)
Pesan moral dan komentar kritis anda:
 
 


Pesan moral dan komentar kritis anda:
 
Dari kecil hingga dewasa Muhammad merupakan manusia yang paling agung. Ia seorang yang tinggi kesopanannya, pemaaf, pandai menjawab pertanyaan orang, lancar berbicara, perkataannya dapat dipegang, jauh dari keji, dan terkenal sebagai al amin, yang dapat dipercaya (Sedillot).









Memperkaya Khazanah Islam


 


Substansi dan Strategi Dakwah Rasulullah SAW di Madinah
Tiga belas tahun lamanya nabi Muhammad berdakwah di Mekah, berbagai hinaan, celaan, dan penyiksaan diterima dan dialami oleh nabi dan pengikut-pengikutnya. Dakwah nabi Muhammad kebanyakan diterima oleh golongan orang-orang miskin dan budak. Sementara itu, para bangsawan dan pemuka-pemuka Quraisy berupaya keras mematahkan dakwah nabi. Akibatnya, perkembangan dakwah di Mekah berjalan lamban. Selain itu, penentangan dan perlawanan Quraisy semakin keras dengan melakukan penyiksaan sadis terhadap para sahabat. Untuk menghindari penyiksaan nabi menyarankan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Abisinia.
Dakwah nabi terus berlanjut bahkan, nabi mencoba berdakwah kepada orang-orang Arab non Quraisy. Ia mencoba mengajak penduduk Thaif namun ia di tolak, dicaci, dimaki dan dilempari. Kemudian nabi mencoba berdakwah kepada  orang-orang Madinah (Yasrib), yang datang setiap tahun melaksanakan ibadah haji. Dakwah nabi mendapat sambutang hangat yang akhirnya melahir perjanjian aqabah. Dari pertemuan ini, nabi melihat bintang cemerlang Islam ada di Madinah dan karena itu iapun memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah. Beberapa saat kemudian nabi Muhammad dengan ditemani oleh Abu bakar bin Quhafah juga berhijrah ke sana.

A.      Substansi Dakwah Nabi di Madinah

1.    Kebebasan Beragama

Tujuan ajaran yang dibawa nabi adalah memberikan ketenangan kepada penganutnya dan memberikan jaminan kebebasan kepada kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani dalam menganut kepercayaan agama masing-masing. Dengan demikian nabi memberikan jaminan kebebasan beragama kepada Yahudi dan nasrani yang meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan beribadah sesuai dengan agamanya, dan kebebasan mendakwahkan agamanya. Hanya kebebasan yang memberikan jaminan dalam mencapai kebenaran dan kemajuan menuju kesatuan yang integral dan terhormat.
Menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan dan menyebarkan kegelapan yang pada akhirnya akan mengikis habis cahaya kebenaran yang ada dalam hati nurani manusia. Cahaya kebenaran yang menghubungkan manusia dengan alam semesta (sampai akhir zaman), yaitu hubungan rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran.

2.    Azan, Shalat, Zakat, dan Puasa

Ketika nabi tiba di Madinah, bila waktu shalat tiba, orang-orang berkumpul bersama tanpa dipanggil. Lalu terpikir untuk menggunakan terompet, seperti Yahudi, namun nabi tidak menyukainya; lalu ada yang mengusulkan menabuh genta, seperti Nasrani. Menurut satu sumber, atas usul Umar bin Khattab dan kaum muslimin dan menurut sumber lain berdasarkan perintah Allah melalui wahyu, panggilan shalat dilakukan dengan azan. Selanjutnya nabi memerintahkan kepada Abdullah bin Zaid bin Sa’labah untuk membacakan lapaz azan kepada Bilal dan menyerukannya manakala waktu shalat tiba, karena Bilal memiliki suara yang merdu.
Bila tiba waktu Shalat Bilal naik ke atas rumah seorang perempuan bani Najjar yang lebih tinggi dari mesjid dan berada di dekat mesjid untuk menyerukan azan dengan lapaz:

الله أكبر الله أكبر أشهد أن لا اله الا الله أشهد أن لا اله الا الله أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله حي على الصلاة حي على الصلاة حي على الفلاح حي على الفلاح الله أكبر الله أكبر لا اله الا الله

Kewajiban shalat yang diterima pada saat mi’raj, menjelang berakhirnya priode Mekah terus dimantapkan kepada para pengikutnya. Sementara itu, puasa yang telah dilakukan berdasarkan syariat sebelumnya, kini telah pula diwajibkan setiap bulan ramadlan. Demikian pula halnya dengan zakat. Bahkan setelah kekuasaan Islam berkembang ke seluruh jazirah Arab nabi mengutus pasukannya ke negeri di luar Madinah untuk memungut zakat.

3.    Khutbah Wada’

Pada tahun ke-10 H (631 M) nabi melaksanakan haji wada’ (haji terakhir). Dalam kesempatan ini nabi menyampai khutbah yang sangat bersejarah. Ketika matahari telah tergelincir, dengan menunggang untanya yang bernama al Qaswa’ nabi berangkat dan tiba di lembah yang berada di Uranah. Di tempat ini, dari atas untanya nabi memanggil orang-orang, dan diulang-ulang panggilan itu oleh Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf.
Setelah berucap syukur dan puji kepada Allah nabi menyampaikan pidatonya. Khutbah nabi itu, antara lain berisi: larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, karena nyawa dan harta benda adalah suci; larangan riba dan larangan menganiaya; perintah untuk memperlakukan para isteri dengan baik dan lemah lembut dan perintah menjauhi dosa; semua pertengkaran antara mereka di zaman jahiliyah harus saling dimaafkan; balas dendam dengan tebusan darah sebagaimana berlaku dalam zaman jahiliyah tidak lagi dibenarkan; persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, mereka makan seperti apa yang dimakan tuannya dan berpakaian seperti apa yang dipakai tuannya; dan yang terpenting adalah umat Islam harus selalu berpegang kepada al Quran dan sunnah.
Badri yatim, dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, menyimpulkan isi khutbah nabi di atas dengan menyatakan bahwa khutbah nabi tersebut berisi prinsip-prinsip kemanusia, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.

B.       Strategi Dakwah Nabi di Madinah

1.    Meletakkan Dasar-dasar Kehidupan Bermasyarakat

Sesampainya di Madinah nabi segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yang dibangun nabi adalah:
                            a.     Membangun mesjid. Mesjid yang dibangun nabi tidak saja dijadikan sebagai pusat kehidupan beragama (beribadah), akan tetapi dijadikan sebagai tempat bermusyawarah, tempat mempersatuan kaum muslimin agar memiliki jiwa yang kuat, dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
                            b.     Membangun ukhuwah islamiyah. Dalam hal ini, nabi mempersaudarakan kaum anshar (muslim Madinah) dengan kaum muhajirin (muslim Mekah), mempertemukan dan mengikat kaum anshar dan muhajirin dalam satu hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Dengan demikian nabi telah membangun sebuah ikatan persaudaraan tidak saja semata-mata dikarenakan hubungan darah, akan tetapi oleh ikatan agama (ideologi).
                            c.     Menjalin persahabatan dengan pihak-pihak lain yang non muslim. Untuk menjaga stabilitas di Madinah nabi menjalin persahabatan dengan orang-orang Yahudi dan Arab yang masih menganut agama nenek moyangnya. Sebuah piagampun dibuat yang kemudian dikenal dengan piagam Madinah. Dalam piagam itu ditegaskan persamaan hak dan menjamin kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi. Setiap orang dijamin keamanannya, dan diberikan kebebasan dalam hak-hak politik dan keagamaan. Setiap orang wajib menjaga keamanan Madinah dari serangan luar. Dalam piagam itu dicantumkan pula bahwa Muhammad menjadi kepala pemerintahan dan karena itu otoritas mutlak diserahkan kepada beliau.
Terbentuknya negara Madinah membuat Islam semakin kuat. Pada sisi lain, timbul kekhawatiran dan kecemasan yang amat tinggi di kalangan Quraisy dan musuh-musuh Islam lainnya. Kenyataan ini, mendorong orang Quraisy dan yang lainnya melakukan berbagai macam bentuk ancaman dan gangguan. Untuk itu nabi mengatur siasat dan membentuk pasukan perang serta mengadakan perjanjian dengan berbagai kabilah yang ada di sekitar Madinah. Upaya kaum muslimin mempertahankan Madinah melahirkan banyak peperangan. Di bawah ini akan diuraikan beberapa peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka:

                            a.     Perang Badar

Perang Badar merupakan peperangan yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Perang ini berlangsung antara kaum muslimin melawan musyrikin Quraisy. Peperangan ini terjadi pada 8 Ramadlan tahun ke-2 Hijrah. Dengan perlengkapan yang sederhana nabi dengan 305 orang pasukannya berangkat ke luar Madinah. Kira-kira 120 km dari Madinah, tepatnya di Badar pasukan nabi bertemu dengan pasukan Quraisy berjumlah antara 900 – 1000 orang. Dalam peperangan ini nabi dan kaum muslimin berhasil memperoleh kemenangan.
Setelah kemenangan ini salah satu suku Badui yang kuat tertarik untuk mengikat perjanjian damai dengan nabi. Tak lama kemudian, nabi menyerang suku Yahudi Madinah, dan Qainuqa’ yang turut berkomplot dengan orang Quraisy Mekah. Orang-orang Yahudi ini akhirnya meninggalkan Madinah dan menetap di Adhri’at, perbatasan Syria.   

                            b.     Perang Uhud

Kekalahan dalam perang Uhud semakin menimbulkan kebencian Quraisy kepada kaum Muslimin. Karena itu, mereka bersumpah akan menuntut balas kekalahan dalam perang Badar. Maka pada tahun ke-3 Hijrah mereka berangkat ke Madinah dengan membawa 3000 pasukan berunta, 200 pasukan berkuda, dan 700 orang di antara mereka memakai baju besi. Pasukan ini dipimpin oleh Khalid bin Walid. Kedatangan pasukan Quraisy ini disambut nabi dengan sekitar 1000 pasukan.
Ketika pasukan nabi melewati batas kota, Abdullah bin Ubay menarik 300 pasukan yang terdiri dari orang Yahudi dan kembali ke Madinah. Dengan pasukan yang masih tersisa, 700 orang, nabi melanjutkan perjalanan. Pasukan nabi dan pasukan Quraisy bertemu di bukit Uhud. Perang besarpun berkobar. Mula-mula pasukan berkuda Khalid bin Walid gagal menembus dan menaklukan pasukan pemanah nabi. Pasukan Quraisy kucar kacir. Namun, kemenangan yang sudah diambang pintu gagal diraih karena pasukan nabi, termasuh pasukan pemanah tergoda oleh harta peninggalan musuh.
Pasukan Khalid bin Walid berbalik menyerang, pasukan pemanah dapat dilumpuhkan dan satu persatu pasukan nabi berguguran di medan pertempuran. Dalam pertempuran ini sekitar 70 orang pasukan nabi gugur sebagai syuhada’. Setelah peperengan ini nabi menindak tegas Abdullah bin Ubay dan pasukannya. Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan Abdullah bin Ubay, diusir dari Madinah. Kebanyakan mereka pergi dan menetap di Khaibar.

                            c.     Perang Ahzab/Khandaq

Bani Nadir yang menetap di Khaibar berkomplot dengan musyrikin Quraisy untuk menyerang Madinah. Pasukan gabungan mereka berkekuatan 24.000 pasukan. Pasukan ini berangkat ke Madinah pada tahun ke-5 Hijrah. Atas usul Salman al Farisi umat Islam menggali parit untuk pertahanan. Oleh karena itu perang ini disebut dengan perang khandaq (parit). Selain itu, peperangan ini disebut dengan perang ahzab (sekutu beberapa suku) karena bani Nadir (orang Yahudi yang terusir dari Madinah), musyrikin Quraisy, dan beberapa suku Arab yang masih musyrik berkomplot melawan pasukan Islam.
Pasukan musuh yang hendak masuk ke madinah tertahan oleh parit. Karena itu, mereka mengepung Madinah dengan membangun kemah-kemah di luar parit. Pengepungan ini berlangsung selama satu bulan dan berakhir setelah badai kencang menerpa dan memporak-porandakan kemah-kemah mereka. Kenyataan ini memaksakan pasukan ahzab menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing tanpa mendapat hasil apapun.
Dalam suasana kritis, orang-orang Yahudi, Bani Quraizah di bawah pimpinan Ka’ab bin Asad melakukan pengkhiatan. Setelah musuh menghentikan pengepungan dan meninggalkan Madinah para pengkhianat itu dihukum mati.

                            d.     Perang Hunain

Meskipun Mekah telah ditaklukan, namun tidak semua suku Arab mau tunduk pada nabi Muhammad. Ada dua suku yang masih melakukan perlawanan terhadap nabi, yaitu: bani Tsaqif di Taif, dan bani Hawazin di antara Mekah dan Taif. Kedua suku ini berkomplot melawan nabi dengan alasan menuntut balas atas berhala-berhala mereka (yang ada di Ka’bah) yang dihancurkan oleh tentara Islam ketika penaklukan Mekah.
Dengan kekuatan 12.000 pasukan di bawah pimpinan nabi, tentara Islam berangkat menuju Hunain. Dalam waktu singkat nabi dan pasukannya dapat menumpas pasukan musuh. Dengan takluknya bani Tsaqif dan bani Hawazin maka seluruh jazirah Arab di bawah kekuasaan nabi Muhammad.

                            e.     Perang Tabuk

Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti oleh nabi Muhammad. Perang ini terjadi karena kecemburuan dan kekhawatiran Heraklius atas keberhasilan nabi menguasai seluruh jazirah Arab. Untuk itu, Heraklius menyusun kekuatan yang sangat besar di utara jazirah Arab, Syria yang merupakan daerah taklukan Romawi. Dalam pasukan besar ini bergabung bani Ghassan dan Bani Lachmides.
Menghadapi peperangan ini banyak sekali kaum muslimin yang “mendaftar” untuk turut berperang dan karena itu terhimpun pasukan yang sangat besar. Melihat besarnya jumlah tentara Islam, pasukan Romawi menjadi kecut hatinya dan kemudian menarik diri, kembali ke negerinya. Nabi tidak melakukan pengejaran, akan tetapi berkemah di Tabuk. Dalam kesempatan ini, nabi membuat perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian wilayah perbatasan itu dapat dikuasai dan dirangkul masuk dalam barisan Islam

2.    Surat Nabi kepada Para Raja

Genjatan senjata antara nabi dengan musyrikin Quraisy telah memberi kesempatan kepada nabi untuk melirik negeri-negeri lain sambil memikirkan cara berdakwah ke sana. Salah satu cara yang ditempuh nabi adalah dengan berkirim surat kepada raja-raja, para penguasa negeri-negeri tersebut. Di antara raja-raja yang dikirimi surat oleh nabi adalah raja Ghassan, Mesir, Abisinia, Persia, dan Romawi. Tidak satupun dari raja-raja tersebut menyambut dan menerima ajakan nabi, semuanya menolak dengan cara yang beragam. Ada yang menolak dengan baik dan simpati dan ada pula yang menolak dengan kasar seperti yang dilakukan oleh raja Ghassan. Ia tidak sekedar menolak bahkan, utusan nabi ia bunuh dengan kejam.
Untuk membalas perlakuan raja Ghassan nabi menyiap 3.000 orang pasukan. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara jazirah Arab. Pasukan Islam kesulitan menghadapi tentara raja Ghassan yang dibantu oleh Romawi. Beberapa orang pasukan muslim gugur sebagai syuhada’ dalam pertempuran itu. Melihat kenyatan ini, komandan pasukan, Khalid bin Walid menarik pasukannya kembali ke Madinah.

3.    Penaklukan Mekah

Pada tahun ke-6 Hijrah, ketika haji telah disyariatkan, nabi Muhammad dengan 1.000 orang kaum muslimin berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Karena itu, nabi beserta kaum muslimin berangkat dengan pakaian ihram dan tanpa senjata. Sebelum sampai di Mekah, tepatnya di Hudaibiyah, nabi dan kaum muslimin tertahan dan tidak boleh masuk ke Mekah. Sambil menunggu ijin untuk masuk ke Mekah nabi dan kaum muslimin berkemah di sana. Nabi dan kaum muslimin tidak dapat ijin memasuki Mekah dan akhirnya dibuatlah perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah berisi lima kesepakatan, yaitu: (1) kaum muslimin tidak boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun ini dan ditangguhkan sampai tahundepan, (2) lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja, (3) kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah sebaliknya, pihak Quraisy menolak untuk mengembalikan orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah, (4) selama sepuluh tahun dilakukan genjatan senjata antara masyarakat Madinah dan Mekah, dan (5) tiap kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kuam Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Dengan adanya perjanjian ini, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan menguasai mekah terbuka kembali. Ada dua faktor yang mendorong nabi untuk menguasai Mekah, yaitu: pertama, Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab; bila Mekah dapat dikuasai maka penyebaran Islam ke seluruh jazirah Arab akan dapat dilakukan; kedua, orang-orang Quraisy adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Dengan dikuasainya Mekah maka kemungkinan orang-orang Quraisy, merupakan suku nabi sendiri, akan memeluk Islam. Dengan Islamnya Quraisy Islam akan mendapat dukungan yang besar. Setahun kemudian, nabi bersama kaum muslimin melaksanakan ibadah haji sesuai dengan perjanjian. Dalam kesempatan ini banyak penduduk Mekah yang masuk Islam karena melihat kemajuan yang diperoleh oleh penduduk Madinah.
Dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam telah menjangkau seluruh jazirah Arab dan mendapat tanggapan positif. Prestasi ini, menurut orang Quraisy, dikarenakan adanya perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu mereka, secara sepihak membatalkan perjanjian tersebut. Oleh karena itu, nabi Muhammad segera berangkat ke Mekah dengan 10.000 orang tentara. Tanpa kesulitan nabi dan pasukannya memasuki Mekah dan berhala-berhala di seluruh sudut negeri dihancurkan. Setelah itu nabi berkhutbah memberikan pengampunan bagi orang-orang Quraisy. Dalam khutbah itu nabi menyatakan: “barang siapa yang menyarungkan pedangnya ia akan aman, barang siapa yang masuk ke masjidil haram ia akan aman, dan barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan ia juga akan aman”. Setelah khutbah itu, penduduk Mekah datang berbondong-bondong dan menyatakan diri sebagai muslim. Sejak peristiwa itu, Mekah berada di bawah kekuasaan nabi.

Keislaman penduduk Mekah memberikan pengaruh yang sangat besar kepada suku-suku di berbagai pelosok Arab. Oleh karena itu pada tahun ke-9 dan 10 Hijrah (630 – 631 M) nabi menerima berbagai delegasi suku-suku Arab, sehingga tahun itu disebut dengan tahun perutusan. Sejak itu, peperangan antar suku telah berubah menjadi saudara seagama dan persatuan Arab-pun terwujud. Nabi Muhammad kembali ke Madinah. Ia mengatur organisasi masyarakat Arab yang telah memeluk Islam. Petugas keamanan dan para da’I dikirim ke daerah-daerah untuk mengajarkan Islam, mengatur peradilan, dan memungut zakat. Dua bulan kemudian, nabi jatuh sakit, dan pada 12 Rabi’ul Awwal 11 H bertepatan dengan 8 Juni 632 M ia wafat di rumah isterinya, Aisyah.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.