Bab IX
Meneladani Perjuangan Rasulullah SAW
di Madinah
Amatilah gambar berikut, lalu tulislah pesan-pesan moral atau komentar kritis
yang mengarah kepada “membangun dan menjaga persaudaraan (ukhuwah)” !
Muhammad seorang yang sangat mulia, dalam
kedudukan yang demikian tinggi ia tetap rendah hati, wajahnya selalu manis dan
bibirnya senantiasa menyungging senyuman, baik terhadap orang yang terhormat
maupun kepada yang berkedudukan rendah (Sedillot)
|
|
Substansi dan Strategi Dakwah Rasulullah SAW di
Madinah
Tiga belas tahun lamanya nabi Muhammad berdakwah di Mekah,
berbagai hinaan, celaan, dan penyiksaan diterima dan dialami oleh nabi dan
pengikut-pengikutnya. Dakwah nabi Muhammad kebanyakan diterima oleh golongan
orang-orang miskin dan budak. Sementara itu, para bangsawan dan pemuka-pemuka
Quraisy berupaya keras mematahkan dakwah nabi. Akibatnya, perkembangan dakwah
di Mekah berjalan lamban. Selain itu, penentangan dan perlawanan Quraisy
semakin keras dengan melakukan penyiksaan sadis terhadap para sahabat. Untuk
menghindari penyiksaan nabi menyarankan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke
Abisinia.
Dakwah nabi terus berlanjut bahkan, nabi mencoba berdakwah
kepada orang-orang Arab non Quraisy. Ia mencoba mengajak penduduk Thaif namun
ia di tolak, dicaci, dimaki dan dilempari. Kemudian nabi mencoba berdakwah
kepada orang-orang Madinah (Yasrib),
yang datang setiap tahun melaksanakan ibadah haji. Dakwah nabi mendapat
sambutang hangat yang akhirnya melahir perjanjian aqabah. Dari pertemuan ini,
nabi melihat bintang cemerlang Islam ada di Madinah dan karena itu iapun
memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah. Beberapa saat
kemudian nabi Muhammad dengan ditemani oleh Abu bakar bin Quhafah juga berhijrah
ke sana.
A. Substansi
Dakwah Nabi di Madinah
1. Kebebasan
Beragama
Tujuan ajaran yang dibawa nabi adalah memberikan ketenangan
kepada penganutnya dan memberikan jaminan kebebasan kepada kaum muslimin,
Yahudi, dan Nasrani dalam menganut kepercayaan agama masing-masing. Dengan
demikian nabi memberikan jaminan kebebasan beragama kepada Yahudi dan nasrani
yang meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan beribadah sesuai dengan
agamanya, dan kebebasan mendakwahkan agamanya. Hanya kebebasan yang memberikan jaminan
dalam mencapai kebenaran dan kemajuan menuju kesatuan yang integral dan
terhormat.
Menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan dan
menyebarkan kegelapan yang pada akhirnya akan mengikis habis cahaya kebenaran
yang ada dalam hati nurani manusia. Cahaya kebenaran yang menghubungkan manusia
dengan alam semesta (sampai akhir zaman), yaitu hubungan rasa kasih sayang dan
persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran.
2. Azan,
Shalat, Zakat, dan Puasa
Ketika nabi tiba di Madinah, bila waktu shalat tiba,
orang-orang berkumpul bersama tanpa dipanggil. Lalu terpikir untuk menggunakan
terompet, seperti Yahudi, namun nabi tidak menyukainya; lalu ada yang
mengusulkan menabuh genta, seperti Nasrani. Menurut satu sumber, atas usul Umar
bin Khattab dan kaum muslimin dan menurut sumber lain berdasarkan perintah
Allah melalui wahyu, panggilan shalat dilakukan dengan azan. Selanjutnya nabi
memerintahkan kepada Abdullah bin Zaid bin Sa’labah untuk membacakan lapaz azan
kepada Bilal dan menyerukannya manakala waktu shalat tiba, karena Bilal
memiliki suara yang merdu.
Bila tiba waktu Shalat Bilal naik ke atas rumah seorang
perempuan bani Najjar yang lebih tinggi dari mesjid dan berada di dekat mesjid
untuk menyerukan azan dengan lapaz:
الله أكبر الله أكبر
أشهد أن لا اله الا الله أشهد أن لا اله الا الله أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن
محمدا رسول الله حي على الصلاة حي على الصلاة حي على الفلاح حي على الفلاح الله
أكبر الله أكبر لا اله الا الله
Kewajiban shalat yang diterima pada saat mi’raj,
menjelang berakhirnya priode Mekah terus dimantapkan kepada para pengikutnya.
Sementara itu, puasa yang telah dilakukan berdasarkan syariat sebelumnya, kini
telah pula diwajibkan setiap bulan ramadlan. Demikian pula halnya dengan zakat.
Bahkan setelah kekuasaan Islam berkembang ke seluruh jazirah Arab nabi mengutus
pasukannya ke negeri di luar Madinah untuk memungut zakat.
3. Khutbah
Wada’
Pada tahun ke-10 H (631 M) nabi melaksanakan haji wada’
(haji terakhir). Dalam kesempatan ini nabi menyampai khutbah yang sangat
bersejarah. Ketika matahari telah tergelincir, dengan menunggang untanya yang
bernama al Qaswa’ nabi berangkat dan tiba di lembah yang berada di Uranah. Di
tempat ini, dari atas untanya nabi memanggil orang-orang, dan diulang-ulang
panggilan itu oleh Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf.
Setelah berucap syukur dan puji kepada Allah nabi
menyampaikan pidatonya. Khutbah nabi itu, antara lain berisi: larangan
menumpahkan darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil harta orang lain
dengan batil, karena nyawa dan harta benda adalah suci; larangan riba dan
larangan menganiaya; perintah untuk memperlakukan para isteri dengan baik dan
lemah lembut dan perintah menjauhi dosa; semua pertengkaran antara mereka di
zaman jahiliyah harus saling dimaafkan; balas dendam dengan tebusan darah
sebagaimana berlaku dalam zaman jahiliyah tidak lagi dibenarkan; persaudaraan
dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya harus
diperlakukan dengan baik, mereka makan seperti apa yang dimakan tuannya dan
berpakaian seperti apa yang dipakai tuannya; dan yang terpenting adalah umat
Islam harus selalu berpegang kepada al Quran dan sunnah.
Badri yatim, dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam,
Dirasah Islamiyah II, menyimpulkan isi khutbah nabi di atas dengan
menyatakan bahwa khutbah nabi tersebut berisi prinsip-prinsip kemanusia,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.
B. Strategi
Dakwah Nabi di Madinah
1. Meletakkan
Dasar-dasar Kehidupan Bermasyarakat
Sesampainya di Madinah nabi segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yang dibangun nabi
adalah:
a. Membangun
mesjid. Mesjid yang dibangun nabi tidak saja dijadikan sebagai pusat kehidupan
beragama (beribadah), akan tetapi dijadikan sebagai tempat bermusyawarah,
tempat mempersatuan kaum muslimin agar memiliki jiwa yang kuat, dan berfungsi
sebagai pusat pemerintahan.
b. Membangun
ukhuwah islamiyah. Dalam hal ini, nabi mempersaudarakan kaum anshar
(muslim Madinah) dengan kaum muhajirin (muslim Mekah), mempertemukan dan
mengikat kaum anshar dan muhajirin dalam satu hubungan kekeluargaan dan
kekerabatan. Dengan demikian nabi telah membangun sebuah ikatan persaudaraan
tidak saja semata-mata dikarenakan hubungan darah, akan tetapi oleh ikatan
agama (ideologi).
c. Menjalin
persahabatan dengan pihak-pihak lain yang non muslim. Untuk menjaga stabilitas
di Madinah nabi menjalin persahabatan dengan orang-orang Yahudi dan Arab yang
masih menganut agama nenek moyangnya. Sebuah piagampun dibuat yang kemudian
dikenal dengan piagam Madinah. Dalam piagam itu ditegaskan persamaan hak dan
menjamin kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi. Setiap orang dijamin
keamanannya, dan diberikan kebebasan dalam hak-hak politik dan keagamaan.
Setiap orang wajib menjaga keamanan Madinah dari serangan luar. Dalam piagam
itu dicantumkan pula bahwa Muhammad menjadi kepala pemerintahan dan karena itu
otoritas mutlak diserahkan kepada beliau.
Terbentuknya negara Madinah membuat Islam semakin kuat. Pada
sisi lain, timbul kekhawatiran dan kecemasan yang amat tinggi di kalangan
Quraisy dan musuh-musuh Islam lainnya. Kenyataan ini, mendorong orang Quraisy
dan yang lainnya melakukan berbagai macam bentuk ancaman dan gangguan. Untuk
itu nabi mengatur siasat dan membentuk pasukan perang serta mengadakan
perjanjian dengan berbagai kabilah yang ada di sekitar Madinah. Upaya kaum
muslimin mempertahankan Madinah melahirkan banyak peperangan. Di bawah ini akan
diuraikan beberapa peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan
musuh-musuh mereka:
a. Perang
Badar
Perang Badar merupakan peperangan yang pertama kali terjadi
dalam sejarah Islam. Perang ini berlangsung antara kaum muslimin melawan
musyrikin Quraisy. Peperangan ini terjadi pada 8 Ramadlan tahun ke-2 Hijrah.
Dengan perlengkapan yang sederhana nabi dengan 305 orang pasukannya berangkat ke
luar Madinah. Kira-kira 120 km dari Madinah, tepatnya di Badar pasukan nabi
bertemu dengan pasukan Quraisy berjumlah antara 900 – 1000 orang. Dalam
peperangan ini nabi dan kaum muslimin berhasil memperoleh kemenangan.
Setelah kemenangan ini salah satu suku Badui yang kuat
tertarik untuk mengikat perjanjian damai dengan nabi. Tak lama kemudian, nabi
menyerang suku Yahudi Madinah, dan Qainuqa’ yang turut berkomplot dengan orang
Quraisy Mekah. Orang-orang Yahudi ini akhirnya meninggalkan Madinah dan menetap
di Adhri’at, perbatasan Syria.
b. Perang
Uhud
Kekalahan dalam perang Uhud semakin menimbulkan kebencian
Quraisy kepada kaum Muslimin. Karena itu, mereka bersumpah akan menuntut balas
kekalahan dalam perang Badar. Maka pada tahun ke-3 Hijrah mereka berangkat ke
Madinah dengan membawa 3000 pasukan berunta, 200 pasukan berkuda, dan 700 orang
di antara mereka memakai baju besi. Pasukan ini dipimpin oleh Khalid bin Walid.
Kedatangan pasukan Quraisy ini disambut nabi dengan sekitar 1000 pasukan.
Ketika pasukan nabi melewati batas kota, Abdullah bin Ubay
menarik 300 pasukan yang terdiri dari orang Yahudi dan kembali ke Madinah.
Dengan pasukan yang masih tersisa, 700 orang, nabi melanjutkan perjalanan.
Pasukan nabi dan pasukan Quraisy bertemu di bukit Uhud. Perang besarpun
berkobar. Mula-mula pasukan berkuda Khalid bin Walid gagal menembus dan
menaklukan pasukan pemanah nabi. Pasukan Quraisy kucar kacir. Namun, kemenangan
yang sudah diambang pintu gagal diraih karena pasukan nabi, termasuh pasukan
pemanah tergoda oleh harta peninggalan musuh.
Pasukan Khalid bin Walid berbalik menyerang, pasukan pemanah
dapat dilumpuhkan dan satu persatu pasukan nabi berguguran di medan pertempuran.
Dalam pertempuran ini sekitar 70 orang pasukan nabi gugur sebagai syuhada’.
Setelah peperengan ini nabi menindak tegas Abdullah bin Ubay dan pasukannya.
Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan Abdullah
bin Ubay, diusir dari Madinah. Kebanyakan mereka pergi dan menetap di Khaibar.
c. Perang
Ahzab/Khandaq
Bani Nadir yang menetap di Khaibar berkomplot dengan
musyrikin Quraisy untuk menyerang Madinah. Pasukan gabungan mereka berkekuatan
24.000 pasukan. Pasukan ini berangkat ke Madinah pada tahun ke-5 Hijrah. Atas
usul Salman al Farisi umat Islam menggali parit untuk pertahanan. Oleh karena
itu perang ini disebut dengan perang khandaq (parit). Selain itu, peperangan
ini disebut dengan perang ahzab (sekutu beberapa suku) karena bani Nadir
(orang Yahudi yang terusir dari Madinah), musyrikin Quraisy, dan beberapa suku
Arab yang masih musyrik berkomplot melawan pasukan Islam.
Pasukan musuh yang hendak masuk ke madinah tertahan oleh
parit. Karena itu, mereka mengepung Madinah dengan membangun kemah-kemah di
luar parit. Pengepungan ini berlangsung selama satu bulan dan berakhir setelah
badai kencang menerpa dan memporak-porandakan kemah-kemah mereka. Kenyataan ini
memaksakan pasukan ahzab menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri
masing-masing tanpa mendapat hasil apapun.
Dalam suasana kritis, orang-orang Yahudi, Bani Quraizah di
bawah pimpinan Ka’ab bin Asad melakukan pengkhiatan. Setelah musuh menghentikan
pengepungan dan meninggalkan Madinah para pengkhianat itu dihukum mati.
d. Perang
Hunain
Meskipun Mekah telah ditaklukan, namun tidak semua suku Arab
mau tunduk pada nabi Muhammad. Ada dua suku yang masih melakukan perlawanan
terhadap nabi, yaitu: bani Tsaqif di Taif, dan bani Hawazin di antara Mekah dan
Taif. Kedua suku ini berkomplot melawan nabi dengan alasan menuntut balas atas
berhala-berhala mereka (yang ada di Ka’bah) yang dihancurkan oleh tentara Islam
ketika penaklukan Mekah.
Dengan kekuatan 12.000 pasukan di bawah pimpinan nabi,
tentara Islam berangkat menuju Hunain. Dalam waktu singkat nabi dan pasukannya
dapat menumpas pasukan musuh. Dengan takluknya bani Tsaqif dan bani Hawazin
maka seluruh jazirah Arab di bawah kekuasaan nabi Muhammad.
e. Perang
Tabuk
Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti oleh nabi
Muhammad. Perang ini terjadi karena kecemburuan dan kekhawatiran Heraklius atas
keberhasilan nabi menguasai seluruh jazirah Arab. Untuk itu, Heraklius menyusun
kekuatan yang sangat besar di utara jazirah Arab, Syria yang merupakan daerah
taklukan Romawi. Dalam pasukan besar ini bergabung bani Ghassan dan Bani
Lachmides.
Menghadapi peperangan ini banyak sekali kaum muslimin yang
“mendaftar” untuk turut berperang dan karena itu terhimpun pasukan yang sangat
besar. Melihat besarnya jumlah tentara Islam, pasukan Romawi menjadi kecut
hatinya dan kemudian menarik diri, kembali ke negerinya. Nabi tidak melakukan
pengejaran, akan tetapi berkemah di Tabuk. Dalam kesempatan ini, nabi membuat
perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian wilayah perbatasan itu
dapat dikuasai dan dirangkul masuk dalam barisan Islam
2. Surat
Nabi kepada Para Raja
Genjatan senjata antara nabi dengan musyrikin Quraisy telah
memberi kesempatan kepada nabi untuk melirik negeri-negeri lain sambil
memikirkan cara berdakwah ke sana. Salah satu cara yang ditempuh nabi adalah
dengan berkirim surat kepada raja-raja, para penguasa negeri-negeri tersebut.
Di antara raja-raja yang dikirimi surat oleh nabi adalah raja Ghassan, Mesir,
Abisinia, Persia, dan Romawi. Tidak satupun dari raja-raja tersebut menyambut
dan menerima ajakan nabi, semuanya menolak dengan cara yang beragam. Ada yang menolak
dengan baik dan simpati dan ada pula yang menolak dengan kasar seperti yang
dilakukan oleh raja Ghassan. Ia tidak sekedar menolak bahkan, utusan nabi ia
bunuh dengan kejam.
Untuk membalas perlakuan raja Ghassan nabi menyiap 3.000
orang pasukan. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara jazirah Arab.
Pasukan Islam kesulitan menghadapi tentara raja Ghassan yang dibantu oleh
Romawi. Beberapa orang pasukan muslim gugur sebagai syuhada’ dalam pertempuran
itu. Melihat kenyatan ini, komandan pasukan, Khalid bin Walid menarik
pasukannya kembali ke Madinah.
3. Penaklukan
Mekah
Pada tahun ke-6 Hijrah, ketika haji telah disyariatkan, nabi
Muhammad dengan 1.000 orang kaum muslimin berangkat ke Mekah untuk melaksanakan
ibadah haji. Karena itu, nabi beserta kaum muslimin berangkat dengan pakaian
ihram dan tanpa senjata. Sebelum sampai di Mekah, tepatnya di Hudaibiyah, nabi
dan kaum muslimin tertahan dan tidak boleh masuk ke Mekah. Sambil menunggu ijin
untuk masuk ke Mekah nabi dan kaum muslimin berkemah di sana. Nabi dan kaum
muslimin tidak dapat ijin memasuki Mekah dan akhirnya dibuatlah perjanjian
Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah berisi lima kesepakatan, yaitu: (1)
kaum muslimin tidak boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun ini dan ditangguhkan
sampai tahundepan, (2) lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja, (3) kaum
muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah
sebaliknya, pihak Quraisy menolak untuk mengembalikan orang-orang Madinah yang
kembali ke Mekah, (4) selama sepuluh tahun dilakukan genjatan senjata antara
masyarakat Madinah dan Mekah, dan (5) tiap kabilah yang ingin masuk ke dalam
persekutuan kuam Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat
rintangan.
Dengan adanya perjanjian ini, harapan untuk mengambil alih
Ka’bah dan menguasai mekah terbuka kembali. Ada dua faktor yang mendorong nabi
untuk menguasai Mekah, yaitu: pertama, Mekah adalah pusat keagamaan
bangsa Arab; bila Mekah dapat dikuasai maka penyebaran Islam ke seluruh jazirah
Arab akan dapat dilakukan; kedua, orang-orang Quraisy adalah orang-orang
yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Dengan dikuasainya Mekah maka
kemungkinan orang-orang Quraisy, merupakan suku nabi sendiri, akan memeluk
Islam. Dengan Islamnya Quraisy Islam akan mendapat dukungan yang besar. Setahun
kemudian, nabi bersama kaum muslimin melaksanakan ibadah haji sesuai dengan
perjanjian. Dalam kesempatan ini banyak penduduk Mekah yang masuk Islam karena
melihat kemajuan yang diperoleh oleh penduduk Madinah.
Dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam
telah menjangkau seluruh jazirah Arab dan mendapat tanggapan positif. Prestasi
ini, menurut orang Quraisy, dikarenakan adanya perjanjian Hudaibiyah. Oleh
karena itu mereka, secara sepihak membatalkan perjanjian tersebut. Oleh karena
itu, nabi Muhammad segera berangkat ke Mekah dengan 10.000 orang tentara. Tanpa
kesulitan nabi dan pasukannya memasuki Mekah dan berhala-berhala di seluruh
sudut negeri dihancurkan. Setelah itu nabi berkhutbah memberikan pengampunan
bagi orang-orang Quraisy. Dalam khutbah itu nabi menyatakan: “barang siapa yang
menyarungkan pedangnya ia akan aman, barang siapa yang masuk ke masjidil haram
ia akan aman, dan barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan ia juga akan aman”.
Setelah khutbah itu, penduduk Mekah datang berbondong-bondong dan menyatakan
diri sebagai muslim. Sejak peristiwa itu, Mekah berada di bawah kekuasaan nabi.
Keislaman penduduk Mekah memberikan pengaruh yang sangat
besar kepada suku-suku di berbagai pelosok Arab. Oleh karena itu pada tahun ke-9
dan 10 Hijrah (630 – 631 M) nabi menerima berbagai delegasi suku-suku Arab,
sehingga tahun itu disebut dengan tahun perutusan. Sejak itu, peperangan antar
suku telah berubah menjadi saudara seagama dan persatuan Arab-pun terwujud.
Nabi Muhammad kembali ke Madinah. Ia mengatur organisasi masyarakat Arab yang
telah memeluk Islam. Petugas keamanan dan para da’I dikirim ke daerah-daerah
untuk mengajarkan Islam, mengatur peradilan, dan memungut zakat. Dua bulan
kemudian, nabi jatuh sakit, dan pada 12 Rabi’ul Awwal 11 H bertepatan dengan 8
Juni 632 M ia wafat di rumah isterinya, Aisyah.
0 komentar:
Posting Komentar