Jumat, 23 Mei 2014

bab 6 pelajaran agama kurikulum 2013



Bab VI
Al Quran dan Hadits Pedoman Hidupku

 





Gambar : tiga orang sahabat sedang asyik bercengkrama diruang tamu




Narasi : hidup bahagia dengan membiasakan kontrol diri, prasangka baik, dan menjaga persaudaraan











  
 



Amatilah gambar berikut, lalu tulislah pesan-pesan moral atau komentar kritis yang mengarah kepada “Menjaga kedamaian dengan dengan mawas diri, berprasangka baik, dan persaudaraan” !
Pesan moral dan komentar kritis anda:
Muhammad seorang yang memiliki perasaan yang sangat halus dan senantiasa berpikir. Selain itu Muhammad percaya bahwa  Allah itu esa dan adanya hari akhirat (Henri Masse)




Pesan moral dan komentar kritis anda:
Muhammad itu seorang yang amat penyayang dan tulus serta teguh dalam kepercayaan dan keyakinan. Selain itu, ia adalah seorang ahli hokum. Ia bukan seorang kepala pemberontak, tetapi pelopor perubahan masyarakat dan perdamaian (Henri Masse)



 


A.      Sumber Hukum Islam: al Quran dan al Hadits

Islam sebagai agama yang diwahyukan (revealled) kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril merupakan jalan lurus yang membawa keselamatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai penerima wahyu (al Quran) nabi Muhammad berkewajiban melaksanakan dan menyampaikannya kepada manusia. Oleh  karena itu, ia memiliki wewenang (otoritas) untuk menjelaskan dan menafsirkan wahyu tersebut.  Pengamalan nabi Muhammad berikut penjelasan dan penafsirannya terhadap al Quran disebut dengan al hadits. Dengan demikian al Quran dan al hadits harus menjadi sumber inspirasi, motivasi, dan hukum bagi umat Islam.
 Al-Qur’an merupakan kitab suci sekaligus menjadi sumber utama dalam penetapan hukum. Dengan demikian, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang termuat dalam Al-Qur’an. Kata Al-Qur’an berasal dari kata qara‘a yang berarti bacaan atau yang dibaca. Dengan demikian secara bahasa al Quran berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca. Sedangkan secara istilah al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur (munajjaman) dan membacanya merupakan ibadah. Kitab ini diturunkan secara berangsur-angsur sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan pada ayat berikut.

تبارك الذي نزل على عبده ليكون للعلمين نذيرا

 “Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (jin dan manusia). (Q.S. al Furqan, 25: 1)

Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang terakhir. Setelah kitab suci Al-Qur’an tidak ada kitab suci lain yang boleh dijadikan sebagai pedoman hidup.   Al-Qur’an memiliki kedudukan yang utama dan harus dijadikan pijakan manusia dalam menjalani hidup,  meraih keselamatan dan kebahagiaan. Orang yang berpedoman pada Al-Qur’an termasuk golongan orang yang bertakwa dan akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Al-Qur’an memiliki keistimewaan yang tiada banding. Contohnya kitab suci ini merupakan wahyu Allah yang paling sempurna dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Seluruh isi Al-Qur’an menunjukkan kebenaran. Dengan keistimewaan ini, Al-Qur’an harus menjadi pedoman manusia dari sejak diturunkan hingga akhir zaman. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum agama berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan dalil pertama untuk menentukan suatu hukum. Dengan demikian, jika terjadi suatu masalah atau persoalan, rujukan pertama adalah pada aturan Al-Qur’an.
Kedudukan Al-Qur’an sangat utama dalam hukum Islam karena langsung diturunkan dari Allah Swt. Oleh karena itu, di dalamnya memuat jawaban segala persoalan, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah (hablun minallah) maupun antar sesama manusia (hablun minannas). Di dalamnya juga memuat informasi tentang alam gaib, seperti akhirat, surga, dan neraka. Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang sangat lengkap, seperti warisan, pembahasan diuraikan secara terperinci. Dalam hal lain Al-Qur’an hanya memberi penjelasan secara global. Oleh karena itu, perlu penjelasan pendukung, yaitu dengan hadits Rasulullah saw.  
Hadits secara bahasa berarti perkataan, dan baharu (lawan dari qadim). Menurut istilah hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad saw. adalah teladan bagi setiap muslim sehingga semua perintah dan ajarannya harus kita ikuti. Mengikuti Rasulullah juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim karena salah satu bukti ketakwaan kita kepada Allah adalah mau mengikuti perintah Rasulullah saw. Dengan demikian, kedudukan hadits bagi umat Islam juga sangat penting.
 Hadits dilihat dari segi kualitas atau nilainya dapat dibedakan menjadi hadits sahih, hasan, dan da’if. Disebut hadits sahih, jika memenuhi syarat; sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabith (kuat ingatan), dan matannya tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan. Hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabith, tetapi tidak sempurna, meskipun matannya tidak mengandung kejanggalan. Hadits da’if derajatnya paling rendah. Suatu hadits dianggap memiliki kedudukan da’if karena banyak sebab. Misalnya karena matan (isi) hadits tersebut ada yang cacat, perawinya tidak kurang adil dan dlabith, ada sanad yang hilang (tidak bersambung), dan kelemahan-kelemahan lainnya. Bila ditinjau dari jumlah perawi, hadits dapat dibagi kepada mutawatir, masyhur, dan ahad. Dikatakan mutawatir jika hadits itu diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap thabaqahnya, sehingga mustahil para perawi itu sepakat untuk berdusta. Sedangkan masyhur merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi namun tidak sampai mencapai tingkat mutawatir. Sementara itu, hadist ahad merupakan hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau jika lebih, jumlahnya tidak sampai mencapai tingkat hadits masyhur.
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dengan demikian, hadits memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadits, yaitu untuk menegaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an, menjelaskan ayat al Quran (bayan tafsir), dan menjelaskan ayat-ayat al Quran yang bersifat umum (bayan takhshish).  Oleh karena itu, ada ketentuan-ketentuan hukum yang telah tercantum dalam Al-Qur’an yang dipertegas kembali dalam hadits. Selain itu, terdapat pula ketentuan hukum dalam Al-Qur’an yang masih bersifat umum sehingga butuh penjelasan yang lebih khusus. Contohnya fungsi hadits yang menjelaskan ketentuan tentang waktu salat, jumlah rakaatnya, dan doa-doanya.  
Meskipun suatu hukum kadang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, jika dalam hadits disebutkan aturan tertentu, kita pun harus mematuhinya. Contohnya, dalam ayat-ayat Al-Qur’an sedikit dijelaskan tentang salat-salat sunah. Akan tetapi, Rasulullah memerintahkan dan memberi contoh kepada kita untuk mengerjakan beberapa macam salat sunah, kita pun harus mematuhinya.  

B.       Ijtihad: Upaya Memahami al Quran dan al Hadits

Sebagai sumber hukum al Quran dan al hadits dipelajari, ditelaah, dan dipahami oleh umat Islam. Untuk itu umat Islam harus mendayagunakan kemampuan akal. Pendayagunaan akal secara sungguh-sungguh dan maksimal dalam memahami al Quran dan al hadits sebagai upaya untuk menghasilkan hukum-hukum syariat disebut dengan ijtihad dan pelakunya disebut dengan mujtahid. Setelah ayat al Quran diturunkan secara sempurna dan nabi Muhammad wafat, hidup dan kehidupan manusia terus berlangsung dan berkembang. Dinamika kehidupan manusia, melahirkan beragam persoalan yang tidak terdapat penjelasannya secara tegas dan jelas dalam al Quran dan hadits. Selain itu tidak semua ayat al Quran dan hadits bersifat qath’iy al dalalah, bahkan kebanyakan dzanniy al dalalah. Oleh karena itu ijtihad merupakan sebuah keniscayaan sebagai upaya mengembangkan hukum Islam.
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Secara istilah ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk mendapatkan hukum-hukum syariat pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya. Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw.
Dalil yang menegaskan kedudukan ijtihad sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang artinya, ”Dari Mu‘az, bahwasanya Nabi Muhammad saw., ketika mengutusnya ke Yaman bersabda .’jika suatu perkara diajukan kepadamu, bagaimana engkau memutuskannya?’ Mu’az menjawab, ‘Saya akan memutuskan menurut kitabullah (Al-Qur’an).’ Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ‘Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu di dalam kitabullah?’ ‘Jika begitu saya akan memutuskan menurut sunah Rasulullah,’ jawab Mu’az. Nabi saw. bertanya kembali, ‘Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam sunah Rasulullah?’ Jawab Mu‘az, ‘Saya akan berijtihad mempergunakan pertimbangan akal pikiranku sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa keraguan sedikit pun.’ Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata, ‘Mahasuci Allah yang memberikan bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan satu sikap yang disetujui rasul-Nya.’” (H.R. Abu Daud dan Tirmiz.i )
Hadits dari Mu‘az bin Jabal di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rujukan atau sumber hukum Islam. Demikian juga halnya dengan hadits Rasulullah. Jika pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ketentuan hukum secara konkrit, kita boleh berijtihad dengan akal sehat kita. Para ulama juga berpendapat bahwa hasil ijtihad dapat digunakan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.  Kedudukan ijtihad sangat penting dan diperlukan. Oleh karena pentingnya, dalam hadits Rasulullah dijelaskan bahwa jika hasil ijtihad seseorang benar akan mendapat balasan dua pahala, sebaliknya jika keliru mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, berijtihad sangat penting kita lakukan untuk menetapkan ketentuan hukum. Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebaliknya, umat Islam dianjurkan untuk berijtihad.
Ijtihad harus dilakukan oleh orangorang yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Yusuf al Qaradawi dalam bukunya Al Ijtihad fi al Syari‘ah al Islamiyyah mengatakan bahwa ada delapan hal yang menjadi syarat pokok untuk menjadi mujtahid. Kedelapan hal itu sebagai berikut.
1)   memahami Al-Qur’an dengan beragam ilmu tentangnya;
2)   memahami hadits dengan berbagai ilmu tentangnya;
3)   mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab;
4)   mengetahui tempat-tempat ijmak;
5)   mengetahui usul fikih;
6)   mengetahui maksud-maksud syariat;
7)   memahami masyarakat dan adat istiadatnya; serta
8)   bersifat adil dan takwa.
Selain delapan syarat tersebut, beberapa ulama menambah tiga syarat lainnya, yaitu:
1)   mendalami ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama);
2)   memahami ilmu mantiq (logika); dan
3)   menguasai cabang-cabang fikih.
Ulama fikih membagi hukum ijtihad menjadi tiga macam. Hukum-hukum tersebut berkaitan dengan saat ijtihad tersebut disampaikan. Pertama,  fardu ‘ain, yaitu harus dilakukan oleh setiap muslim. Hal ini terjadi jika seseorang berada dalam suatu keadaan atau masalah dan ia harus menentukan sikap, sementara tidak ada orang lain di sana. Kedua,  fardu kifayah, yaitu jika ada suatu masalah dan pada saat yang sama ada para ulama yang mampu melakukan ijtihad. Oleh karena itu, hanya mereka yang telah mampu yang dibolehkan melakukan ijtihad. Ketiga, mandub atau sunah, jika terdapat masalah yang masih baru dan masih bersifat wacana atau belum terjadi. Saat itu, ijtihad tidak harus dilakukan, walaupun jika dilakukan tetap diperbolehkan sebagai langkah antisipasi kemungkinan pada masa depan.
Melalui ijtihad berbagai persoalan baru yang mengiringi kehidupan manusia dapat ditetapkan status hukumnya sesuai dengan maqashid al syari’ah. Dengan demikian ijtihad mendinamiskan hukum Islam. Ijtihad dapat dilakukan dengan beragam cara, misalnya qiyas, istihsan, dan urf. Dalam melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang sama, kadang ulama yang satu menggunakan cara pendekatan yang berbeda dengan ulama yang lain. Oleh karena menggunakan cara pendekatan yang berbeda, hasil ijtihadnya pun berbeda. Akan tetapi, perbedaan pendapat yang terjadi merupakan rahmat yang tidak perlu diperselisihkan. Dengan dilakukannya ijtihad mengandung beberapa manfaat yang sangat penting. Dengan ijtihad hukum Islam semakin dinamis karena dapat menjawab persoalan yang terjadi pada masa-masa tertentu. Selain itu, dengan dibolehkannya ijtihad akan melatih para ulama untuk berpikir kritis dan mau menggali lebih dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Ijtihad dapat dilakukan secara individual (perorangan) ataupun kolegial (bersama-sama). Perkembangan kemajuan manusia yang tidak atau belum pernah diperkirakan sebelumnya melahirkan berbagai persoalan baru yang menuntut penetapan hukum yang dapat menjadi pedoman bagi umat Islam. Persoalan-persoalan baru yang timbul sepertinya sulit sekali untuk bisa diputuska, oleh seorang saja, status hukumnya. Misalnya masalah rekayasa genetika. Masalah ini, menuntut keahlian di bidang ilmu dan teknologi genetika selain ilmu agama dengan berbagai cabangnya. Karena itu, amat sulit melakukan ijtihad individual di era modern ini. Oleh karena itu, sekarang ini berkembang ijtihad kolegial (bersama) seperti yang dilakukan oleh MUI melalui Komisi Fatwa, Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih, dan NU melalui Bahtsul Masail, dan lain sebagainya.  


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.