Bab VI
Al Quran dan Hadits Pedoman Hidupku
Gambar : tiga
orang sahabat sedang asyik bercengkrama diruang tamu
Narasi :
hidup bahagia dengan membiasakan kontrol diri, prasangka baik, dan menjaga
persaudaraan
|
Amatilah gambar berikut, lalu tulislah pesan-pesan moral atau komentar kritis
yang mengarah kepada “Menjaga kedamaian dengan dengan mawas diri, berprasangka
baik, dan persaudaraan” !
Pesan moral dan komentar
kritis anda:
|
Pesan moral dan komentar
kritis anda:
|
A. Sumber
Hukum Islam: al Quran dan al Hadits
Islam sebagai agama yang diwahyukan (revealled) kepada
nabi Muhammad melalui malaikat Jibril merupakan jalan lurus yang membawa
keselamatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai penerima
wahyu (al Quran) nabi Muhammad berkewajiban melaksanakan dan menyampaikannya
kepada manusia. Oleh karena itu, ia
memiliki wewenang (otoritas) untuk menjelaskan dan menafsirkan wahyu
tersebut. Pengamalan nabi Muhammad
berikut penjelasan dan penafsirannya terhadap al Quran disebut dengan al
hadits. Dengan demikian al Quran dan al hadits harus menjadi sumber inspirasi,
motivasi, dan hukum bagi umat Islam.
Al-Qur’an
merupakan kitab suci sekaligus menjadi sumber utama dalam penetapan hukum.
Dengan demikian, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan
dengan aturan-aturan yang termuat dalam Al-Qur’an. Kata Al-Qur’an berasal dari
kata qara‘a yang berarti bacaan atau yang dibaca. Dengan demikian secara
bahasa al Quran berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca. Sedangkan secara
istilah al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui perantaraan malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur (munajjaman)
dan membacanya merupakan ibadah. Kitab ini diturunkan secara berangsur-angsur
sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia. Ketentuan ini
sebagaimana dijelaskan pada ayat berikut.
تبارك
الذي نزل على عبده ليكون للعلمين نذيرا
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan
(Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan
bagi seluruh alam (jin dan manusia). (Q.S. al Furqan, 25: 1)
Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang
terakhir. Setelah kitab suci Al-Qur’an tidak ada kitab suci lain yang boleh
dijadikan sebagai pedoman hidup. Al-Qur’an memiliki kedudukan yang utama dan
harus dijadikan pijakan manusia dalam menjalani hidup, meraih keselamatan dan kebahagiaan. Orang yang
berpedoman pada Al-Qur’an termasuk golongan orang yang bertakwa dan akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an memiliki keistimewaan yang tiada banding.
Contohnya kitab suci ini merupakan wahyu Allah yang paling sempurna dan
menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Seluruh isi Al-Qur’an menunjukkan
kebenaran. Dengan keistimewaan ini, Al-Qur’an harus menjadi pedoman manusia dari
sejak diturunkan hingga akhir zaman. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber dari
segala sumber hukum agama berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan
dalil pertama untuk menentukan suatu hukum. Dengan demikian, jika terjadi suatu
masalah atau persoalan, rujukan pertama adalah pada aturan Al-Qur’an.
Kedudukan Al-Qur’an sangat utama dalam hukum
Islam karena langsung diturunkan dari Allah Swt. Oleh karena itu, di dalamnya memuat
jawaban segala persoalan, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan
Allah (hablun minallah) maupun antar sesama manusia (hablun minannas).
Di dalamnya juga memuat informasi tentang alam gaib, seperti akhirat, surga,
dan neraka. Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang sangat lengkap, seperti
warisan, pembahasan diuraikan secara terperinci. Dalam hal lain Al-Qur’an hanya
memberi penjelasan secara global. Oleh karena itu, perlu penjelasan pendukung,
yaitu dengan hadits Rasulullah saw.
Hadits secara bahasa berarti perkataan, dan
baharu (lawan dari qadim). Menurut istilah hadits adalah segala
perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad saw. adalah teladan bagi setiap
muslim sehingga semua perintah dan ajarannya harus kita ikuti. Mengikuti
Rasulullah juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim karena salah satu bukti ketakwaan
kita kepada Allah adalah mau mengikuti perintah Rasulullah saw. Dengan
demikian, kedudukan hadits bagi umat Islam juga sangat penting.
Hadits
dilihat dari segi kualitas atau nilainya dapat dibedakan menjadi hadits sahih,
hasan, dan da’if. Disebut hadits sahih, jika memenuhi
syarat; sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabith
(kuat ingatan), dan matannya tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan. Hadits
hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi
yang adil dan dlabith, tetapi tidak sempurna, meskipun matannya tidak mengandung
kejanggalan. Hadits da’if derajatnya paling rendah. Suatu hadits
dianggap memiliki kedudukan da’if karena banyak sebab. Misalnya karena matan
(isi) hadits tersebut ada yang cacat, perawinya tidak kurang adil dan dlabith,
ada sanad yang hilang (tidak bersambung), dan kelemahan-kelemahan lainnya. Bila
ditinjau dari jumlah perawi, hadits dapat dibagi kepada mutawatir, masyhur,
dan ahad. Dikatakan mutawatir jika hadits itu diriwayatkan oleh
banyak perawi dalam setiap thabaqahnya, sehingga mustahil para perawi
itu sepakat untuk berdusta. Sedangkan masyhur merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh banyak perawi namun tidak sampai mencapai tingkat mutawatir.
Sementara itu, hadist ahad merupakan hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi atau jika lebih, jumlahnya tidak sampai mencapai tingkat hadits
masyhur.
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Dengan demikian, hadits memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum
Islam. Di antara fungsi hadits, yaitu untuk menegaskan ketentuan yang telah ada
dalam Al-Qur’an, menjelaskan ayat al Quran (bayan tafsir), dan
menjelaskan ayat-ayat al Quran yang bersifat umum (bayan takhshish). Oleh karena itu, ada ketentuan-ketentuan hukum
yang telah tercantum dalam Al-Qur’an yang dipertegas kembali dalam hadits. Selain
itu, terdapat pula ketentuan hukum dalam Al-Qur’an yang masih bersifat umum
sehingga butuh penjelasan yang lebih khusus. Contohnya fungsi hadits yang
menjelaskan ketentuan tentang waktu salat, jumlah rakaatnya, dan doa-doanya.
Meskipun suatu hukum kadang tidak dijelaskan
dalam Al-Qur’an, jika dalam hadits disebutkan aturan tertentu, kita pun harus mematuhinya.
Contohnya, dalam ayat-ayat Al-Qur’an sedikit dijelaskan tentang salat-salat
sunah. Akan tetapi, Rasulullah memerintahkan dan memberi contoh kepada kita
untuk mengerjakan beberapa macam salat sunah, kita pun harus mematuhinya.
B. Ijtihad:
Upaya Memahami al Quran dan al Hadits
Sebagai sumber hukum al Quran dan al hadits dipelajari,
ditelaah, dan dipahami oleh umat Islam. Untuk itu umat Islam harus
mendayagunakan kemampuan akal. Pendayagunaan akal secara sungguh-sungguh dan
maksimal dalam memahami al Quran dan al hadits sebagai upaya untuk menghasilkan
hukum-hukum syariat disebut dengan ijtihad dan pelakunya disebut dengan
mujtahid. Setelah ayat al Quran diturunkan secara sempurna dan nabi Muhammad
wafat, hidup dan kehidupan manusia terus berlangsung dan berkembang. Dinamika
kehidupan manusia, melahirkan beragam persoalan yang tidak terdapat
penjelasannya secara tegas dan jelas dalam al Quran dan hadits. Selain itu
tidak semua ayat al Quran dan hadits bersifat qath’iy al dalalah, bahkan
kebanyakan dzanniy al dalalah. Oleh karena itu ijtihad merupakan sebuah
keniscayaan sebagai upaya mengembangkan hukum Islam.
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang
artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Secara istilah
ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk
mendapatkan hukum-hukum syariat pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya.
Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’
atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari
prinsip dan aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw.
Dalil yang menegaskan kedudukan ijtihad
sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang artinya, ”Dari Mu‘az, bahwasanya
Nabi Muhammad saw., ketika mengutusnya ke Yaman bersabda .’jika suatu perkara
diajukan kepadamu, bagaimana engkau memutuskannya?’ Mu’az menjawab, ‘Saya akan
memutuskan menurut kitabullah (Al-Qur’an).’ Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ‘Dan
jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu di dalam kitabullah?’ ‘Jika
begitu saya akan memutuskan menurut sunah Rasulullah,’ jawab Mu’az. Nabi saw.
bertanya kembali, ‘Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di
dalam sunah Rasulullah?’ Jawab Mu‘az, ‘Saya akan berijtihad mempergunakan pertimbangan
akal pikiranku sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa keraguan sedikit pun.’
Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata, ‘Mahasuci Allah yang
memberikan bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan satu sikap yang disetujui
rasul-Nya.’” (H.R. Abu Daud dan Tirmiz.i )
Hadits dari Mu‘az bin Jabal di atas menjelaskan
bahwa Al-Qur’an merupakan rujukan atau sumber hukum Islam. Demikian juga halnya
dengan hadits Rasulullah. Jika pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan
ketentuan hukum secara konkrit, kita boleh berijtihad dengan akal sehat kita.
Para ulama juga berpendapat bahwa hasil ijtihad dapat digunakan dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedudukan ijtihad sangat penting dan
diperlukan. Oleh karena pentingnya, dalam hadits Rasulullah dijelaskan bahwa
jika hasil ijtihad seseorang benar akan mendapat balasan dua pahala, sebaliknya
jika keliru mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, berijtihad sangat penting
kita lakukan untuk menetapkan ketentuan hukum. Tidak benar pendapat yang
menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebaliknya, umat Islam
dianjurkan untuk berijtihad.
Ijtihad harus dilakukan oleh orangorang yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Yusuf al Qaradawi dalam bukunya Al Ijtihad fi al Syari‘ah al Islamiyyah mengatakan bahwa ada delapan hal yang menjadi
syarat pokok untuk menjadi mujtahid. Kedelapan hal itu sebagai berikut.
1)
memahami Al-Qur’an dengan beragam ilmu
tentangnya;
2)
memahami hadits dengan berbagai ilmu
tentangnya;
3)
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang
bahasa Arab;
4)
mengetahui tempat-tempat ijmak;
5)
mengetahui usul fikih;
6)
mengetahui maksud-maksud syariat;
7)
memahami masyarakat dan adat
istiadatnya; serta
8)
bersifat adil dan takwa.
Selain delapan syarat tersebut, beberapa ulama
menambah tiga syarat lainnya, yaitu:
1)
mendalami ilmu ushuluddin
(pokok-pokok agama);
2)
memahami ilmu mantiq (logika); dan
3)
menguasai cabang-cabang fikih.
Ulama fikih membagi hukum ijtihad menjadi tiga
macam. Hukum-hukum tersebut berkaitan dengan saat ijtihad tersebut disampaikan.
Pertama, fardu ‘ain, yaitu
harus dilakukan oleh setiap muslim. Hal ini terjadi jika seseorang berada dalam
suatu keadaan atau masalah dan ia harus menentukan sikap, sementara tidak ada
orang lain di sana. Kedua, fardu
kifayah, yaitu jika ada suatu masalah dan pada saat yang sama ada para
ulama yang mampu melakukan ijtihad. Oleh karena itu, hanya mereka yang telah
mampu yang dibolehkan melakukan ijtihad. Ketiga, mandub atau
sunah, jika terdapat masalah yang masih baru dan masih bersifat wacana atau
belum terjadi. Saat itu, ijtihad tidak harus dilakukan, walaupun jika dilakukan
tetap diperbolehkan sebagai langkah antisipasi kemungkinan pada masa depan.
Melalui ijtihad berbagai persoalan baru yang
mengiringi kehidupan manusia dapat ditetapkan status hukumnya sesuai dengan maqashid
al syari’ah. Dengan demikian ijtihad mendinamiskan hukum Islam. Ijtihad
dapat dilakukan dengan beragam cara, misalnya qiyas, istihsan,
dan urf. Dalam melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang sama,
kadang ulama yang satu menggunakan cara pendekatan yang berbeda dengan ulama
yang lain. Oleh karena menggunakan cara pendekatan yang berbeda, hasil ijtihadnya
pun berbeda. Akan tetapi, perbedaan pendapat yang terjadi merupakan rahmat yang
tidak perlu diperselisihkan. Dengan dilakukannya ijtihad mengandung beberapa
manfaat yang sangat penting. Dengan ijtihad hukum Islam semakin dinamis karena
dapat menjawab persoalan yang terjadi pada masa-masa tertentu. Selain itu,
dengan dibolehkannya ijtihad akan melatih para ulama untuk berpikir kritis dan
mau menggali lebih dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Ijtihad dapat dilakukan secara individual
(perorangan) ataupun kolegial (bersama-sama). Perkembangan kemajuan manusia
yang tidak atau belum pernah diperkirakan sebelumnya melahirkan berbagai
persoalan baru yang menuntut penetapan hukum yang dapat menjadi pedoman bagi
umat Islam. Persoalan-persoalan baru yang timbul sepertinya sulit sekali untuk bisa
diputuska, oleh seorang saja, status hukumnya. Misalnya masalah rekayasa
genetika. Masalah ini, menuntut keahlian di bidang ilmu dan teknologi genetika
selain ilmu agama dengan berbagai cabangnya. Karena itu, amat sulit melakukan
ijtihad individual di era modern ini. Oleh karena itu, sekarang ini berkembang
ijtihad kolegial (bersama) seperti yang dilakukan oleh MUI melalui Komisi
Fatwa, Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih, dan NU melalui Bahtsul Masail, dan
lain sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar